Minggu, 09 Juni 2013

Sastra Jawa dan Sastra Sunda



A. Sejarah Sastra Jawa dan Sunda
Jawa dan Sunda adalah hasil karya sastra Sunda, baik yang berhubungan dengan Sunda maupun tidak, namun ditulis menggunakan bahasa Jawa oleh orang Sunda. Orang Sunda yang menghuni bagian barat pulau Jawa sudah secara dini mengenal aksara. Prasasti-prasasti dinasti Tarumanegara yang diketemukan, ditarikhkan berasal dari abad ke-5 Masehi. Prasasti-prasasti ini ditulis dalam bahasa Sanskerta. Lama-kelamaan kemudian orang-orang Sunda pun menuliskan karya sastra mereka menggunakan bahasa Sunda kuna.

            Pengaruh-pengaruh budaya Jawa juga sudah terlihat dalam karya-karya sastra Sunda Kuna. Ditemukan ada beberapa kata-kata serapan dari bahasa Jawa (Kuna) dan beberapa karya sastra Jawa Kuna banyak pula yang dipelajari dan kemudian diterjemahkan dalam bahasa Sunda Kuna. Bahkan naskah tertua sastra Jawa Kuna berasal dari daerah Sunda di Jawa Barat. Misalkan naskah kakawin Arjunawiwaha yang tertua dan sekaligus naskah lontar (atau sebenarnya nipah) tertua pula berasal dari daerah sekitar Bandung.

Perkembangan sastra Jawa dimulai sejak zaman kraton Mataram Hindu, Budha, Medang, Kahuripan, Jenggala, Daha, Kediri, Singasari, Majapahit, Demak, Pajang, Mataram, Surakarta dan Yogyakarta. Pada awal abad 20 sesungguhnya kesusastraan Jawa sudah mendapat pengaruh dari metrum-metrum kesusastraan yang berasal dari Barat. Sastra merupakan produk masyarakat Jawa yang sudah berusia sangat panjang. Kebudayaan asli Jawa yang bersifat transendental lebih cenderung pada paham animisme dan dinamisme. Perubahan besar pada kebudayaan Jawa terjadi setelah masuknya agama Hindu-Budha yang berasal dari India. Kebudayaan India secara riil mempengaruhi dan mewarnai kebudayaan Jawa, meliputi: sistem kepercayaan, kesenian, kesusastraan, astronomi, mitologi, dan pengetahuan umum.

Kesusastraan adalah bagian dari kebudayaan, maka dengan kebudayaan India datang pulalah kesusastraan India di Nusantara. Pengertian kebudayaan itu sendiri  memiliki kata dasar yaitu budaya berasal dari bahasa sansekerta “buddhayah”, yaitu bentuk jamak dari buddhi yang berarti “budi” atau “akal”. Jadi Koenjaraningrat, mendefinisikan budaya sebagai “daya budi” yang berupa cipta, karsa dan rasa, sedangkan kebudayaan adalah hasil dari cipta, karsa dan rasa.   Tahun pertama Masehi di India berkembanglah kesusastraan yang terutama berpusat kepada kitab-kitab suci agama Hindu sesudah perkembangan agama Budha, yaitu kitab-kitab purana (Wojowasito, 1967). Di samping Hinduisme ini berkembang pulalah agama Budha, baik Mahayana, maupun Hinayana, dengan seluruh kesusastraannya.

Tidak hanya kesusastraan yang berhubungan dengan agama saja yang berkembang, tetapi di samping itu terdapat pula karangan-karangan yang terutama mementingkan indahnya bahasa, halusnya rasa, bagusnya irama. Selama inilah timbul sajak yang terkenal bagusnya bagi bangsa India, yaitu yang disebut Kawya. Kebiasaan pada saat itu masih dapat dilihat hingga akhir abad 19 di keraton Sunan Solo. Pujangga-keraton daerah istimewa kesunanan yang terakhir yaitu Ronggowarsito. Nama ini sangat terkenal dalam lapangan kesusastraan di Solo.
Maka berhubung dengan apa yang telah diuraikan di atas sejarah kesusastraan bahasa Kawi Jawa Kuno ini berkisar pada perurutan kekuasaan-kekuasaan sebagai berikut: kerajaan Sindok dan pengganti-penggantinya. Sejak datangnya agama Islam perhatian kepada kesusastraan kuno sangat berkurang dan akhirnya hilang sama sekali. Jadi dengan lenyapnya kerajaan Majapahit dari Jawa Timur itu, lenyap pulalah kesusastraan Kawi dari daerah itu.
Untunglah ada Bali yang sejak bersatu dengan Majapahit tetap menjunjung tinggi pusaka nenek-moyangnya dari zaman Majapahit hingga sekarang. Dari Balilah didapatkan sebagian besar hasil kesusastraan zaman pengaruh India hingga berakhirnya Kerajaan Majapahit, dan oleh karena naskah-naskah itulah maka dapat diketahui sebagian besar perkembangan politik di Nusantara hingga lenyapnya Majapahit.

B. Sastra Jawa
Sastra Jawa adalah seluruh karya sastra yang menggunakan bahasa Jawa sebagai sarana ungkap. Definisi ini mencakup penggunaan ragam dan tahapan bahasa, genre, bentuk, isi, dan mutu yang ada dalam khasanah sastra Jawa. Secara garis besar penggunaan bahasanya, sastra Jawa dibagi ke dalam tiga kelompok, yakni sastra Jawa kuna, sastra Jawa tengahan dan sastra Jawa baru. Adapun penjelasan tentang pembagian sastra Jawa dalam tiga kelompok sebagai berikut.
1.      Sastra Jawa Kuna
Sastra Jawa kuna adalah sastra Jawa dengan menggunakan bahasa Jawa kuna sebagai wahana  penyampaian. Sastra Jawa kuna merupakan tahap sastra ketika kebudayaan Jawa menampakkan pengaruh India yang sangat kuat. Hampir semua unsur kebudayaan Jawa menampakkan adanya pengaruh India yang sangat kuat: sistem religi, bahasa, kesenian, ilmu pengetahuan, dan organisasi sosial; walaupun di sana ada akulturasi akibat kuatnya local genius dalam kebudayaan Jawa. Macam-macam sasta pada zaman Jawa kuna yaitu :
v  Kakawin
            Istilah kakawin berasal dari kata kawi (Sansakerta: penyair/pujangga) dan konfiks Jawa ka-an sudah mencerminkan hal itu. Kakawin merupakan adaptasi puisi India yang terikat pada pola persajakan yang ketat. Kakawin dalam kesastraan Jawa dikenal sebagai karya penyair yang mempunyai pengertian yang luar biasa. Sastra kakawin biasanya dalam bentuk pupuh yaitu batasan lagu yang terikat oleh banyaknya suku kata dalam satu bait, yang merupakan bagian pengantar seorang penyair dalam memulai karangnya. Contohnya: kakawin Ramayana, kakawin Kresnayan, kakawin Arjunawijaya.

v  Negarakertagama
Nagakrtagama memiliki perbedaan isi dibanding dengan karya sastra sebelumnya, yakni berupa laporan perjalanan raja Majapahit, Hayam Wuruk, dan lain-lain.
v  Sastra Wayang

            Sastra pewayangan merupakan sastra yang ceritanya bersumber dari epos Mahabarata Ramayana. Sastra wayang merupakan salah satu sastra Jawa dalam bentuk lisan, karena dipentaskan dengan menggunakan wayang. Sastra Jawa yang lain dalam bentuk lisan adalah kentruk, yaitu cerita yang diceritakan oleh para penglipur lara.

2.      Sastra Jawa Tengahan
           
            Sastra Jawa tengahan merupakan sastra Jawa dengan bahasa Jawa pertengahan sebagai wahana penyampaian, muncul pada akhir Majapahit dan berkembang pada periode sastra Jawa-Bali.

v  Kidung
            Selain bentuk prosa, sastra Jawa tengahan mengenal bentuk puisi yaitu kidung. Kata kidung benar-benar asli Jawa. Tidak sebagaimana halnya kakawin yang baik prosodi maupun isinya dibawa dari India, prosodi dan isi sastra kidung benar-benar Jawa. Beberapa teks sastra Jawa tengahan misalnya Tantu Panggelaran, Pararaton, Sri Tanjung, Sudamaia, Kidung Ranggalawe, Kidung Harsawijaya, Kidung Sunda, dan Kidung Sorandaka.

v  Pararaton
            Pararaton merupakan salah satu karya sastra Jawa tengahan yang dianggap memiliki nilai kesejarahan, meskipun pengertian sejarah tidak sebagaimana berlaku sekarang yang memiliki matra faktual. Susunan dan motif-motifnya mirip dengan babad dalam sastra Jawa baru. Babad dianggap sebagai sastra sejarah yang salah satu fungsinya merupakan sarana legitimasi. Jika Pararaton dapat dipersamakan dengan babad, maka karya sastra ini merupakan refleksi dari sistem orang Jawa menilai peristiwa dan kronik.
Dibawah ini dapat dilihat terdapat gambar pararaton.
   


3.      Sastra Jawa Baru
            Sastra Jawa baru adalah sastra Jawa dengan bahasa Jawa baru sebagai sarana ungkap, mucul sejajar dengan sastra Jawa tengahan dan berlangsung hingga sekarang. Sastra Jawa baru dibagi menjadi dua bagian, yakni sastra Jawa tradisional dan sastra Jawa gagrag anyar (modern).

v  Sastra Tradisional
Sastra tradisional adalah sastra yang dibatasi oleh aturan tertentu secara                                  konvensional dan berlaku turun-temurun. Karya sastra pada Jawa baru adalah macapat.
o   Macapat
 
            Macapat merupakan bentuk puisi yang berbahasa Jawa baru yang memperhitungkan jumlah baris untuk tiap bait, jumlah suku kata tiap baris, dan vocal akhir baris, baik jumlah suku kata maupun vocal akhir tergantung atas kedudukan baris bersangkutan pada pola metrum yang digunakan.

v  Sastra Gagrag Anyar
Sastra Gagrag Anyar sebagai sesuatu yang baru, sastra Jawa gagrag anyar pada mulanya sulit diterima masyarakat Jawa yang terbiasa dengan sastra "adiluhung" berbentuk macapat. Kenyataan ini diperburuk lagi oleh banyak sastrawan Jawa yang handal mengalihkan ekspresi kesusastraannya dengan menggunakan bahasa Indonesia karena pertimbangan cakupan pembaca dan permasalahana yang lebih luas.
o   Parikan : Puisi Jawa Kontekstual
Berasal dari kata pari, yang mempunyai ragam krama "pantun", sehingga kemungkinan parikan berasal dari pantun Melayu. Parikan dapat dianggap sebagai puisi rakyat (Jawa) karena hidup di tengah-tengah rakyat. Bahkan setiap orang Jawa dapat menciptakan dan sekaligus mengucapkan wacana yang dibingkai dengan metrum parikan tanpa harus berurusan dengan hak cipta seperti yang terjadi pada masyarakat modern. Wacana berikut merupakan contoh parikan lamba (contoh 1) dan parikan rangkep (contoh 2).
(1) omah gendheng taksaponane
abot entheng taklakonane

'rumah genteng akan kusapu
berat (atau pun) ringan akan kujalani'


(2) iki kayu kayune sepur
ilang sepure kari endhase
iki ayu ayune pupur
ilang pupure kari kadhase

'ini kayu kayu(-nya) keta api
Hilang kereta api(-nya) tinggal lokomotif(-nya)
Ini cantik cantik(-nya) bedak
Hilang bedak(-nya) tinggal kurap(-nya)’



C. Sastra Sunda

            Sastra Sunda adalah karya kesusastraan dalam bahasa Sunda atau dari daerah kebudayaan suku bangsa Sunda atau di mana mereka memberikan pengaruh besar. Seni sastra Sunda berkembang cukup pesat dari waktu ke waktu baik jenis karyanya maupun sastrawannya.  Karya sastra Sunda dapat dibagi ke dalam dua kelompok antara lain adalah :
a.       Pantun
Pantun yaitu sastra lisan yang berbentuk prosa lirik, pada umumnya menceritakan tokoh kerajaan Pajajaran yang melakukan pengembaraan dalam mencapai cita-citanya. Contohnya cerita pantun Ciung Wanara, Lutung Kasarung, Mundinglaya Di Kusumah. Kini cerita pantun sudah banyak yang telah dibukukan.
b.      Wawacan
Karya sastra yang terikat, dibentuk dari pupuh, ceritanya panjang, fiksi, dan menceritakan kejayaan seseorang, contoh : wawacan Panji Wulung, Angling Darma, Babad Sumedang, wawacan Purnama Alam.  Ada 17 pupuh yang terdapat dalam karya sastra Sunda,  yaitu Asmarandana, Kinanti, Sinom, Dangdanggula, Durma, Pangkur, Jurudemung, Gurisa, Magatru, Maskumambang, Pucung, Mijil, Balakbak, Lambang, Ladrang, Gambuh, Wirangrong.
Masing-masing pupuh mempunyai sifat dan fungsi masing-masing dalam menggambarkan suasana cerita. Membaca wawacan biasanya ditembangkan sesuai lagu  pupuh yang digunakan.
c.       Guguritan
Karya sastra  terikat yang dibentuk dari pupuh, ceritanya pendek,  menceritakan keindahan alam, perasaan hati dan nasihat. Membacakan guguritan ditembangkan sesuai lagu pupuhnya. Contoh guguritan : Dangdanggula  Laut Kidul, Asmarandana Lahir Batin, Wulang Krama , Wulang Guru dan lain-lain.


d.      Pupujian
Karangan terikat atau  puisi berisikan pelajaran keagamaan, mengagungkan Allah, solawat kepada nabi dan do’a. Bentuk pupujian biasanya terdiri dari beberapa bait, setiap baitnya 4 baris dan berirama, cara membacanya dilantunkan/dilagukan, melantunkan pupujian biasanya di mesjid/madrasah. Contoh pupujian yang berisikan pujian terhadap  keagungan Allah:
He Dat anu Kuat
He dat anu leuwih kuat
anu gagah anu perkosa
mugia Gusti ngajaga
ti jalma nu dolim dosa
He Alloh anu ngqamankeun
Ka abdi tina kasieun
Mugi Gusti nyalametkeun
Ka abdi tina kasieun
                                                     
(Panyungsi sastra hal. 138)
e.       Paparikan
Karya sastra yang terikat  terdiri dari 4 baris, setiap baris terdiri dari 8 suku kata (engang, dalam bahasa Sunda), 2 baris  pertama merupakan  sindiran/sampiran dan 2 baris berikutnya merupakan isinya, paparikan biasanya dikawihkan.
Contoh  paparikan :
Batur mah dibaju hideung
Kuring mah dikabaya bae
Batur mah dipikatineung
Kuring mah sangsara bae
f.        Wawangsalan
Karya sastra yang terikat terdiri dari 2 baris,  baris pertama sampiran dan baris kedua isi. Uniknya dari paparikan ini adalah   baris pertama dan kedua merupakan tebakan yang diulang atau wangsal.
Contoh wawangsalan  yang wangsalnya atau isi tebakannya adalah  hayam 
Teu beunang dirangkong kolong
Teu beunang dipikahayang
g.      Sajak
Karya sastra yang terikat terdiri dari beberapa bait, tiap bait jumlah baris dan jumlah suku kata tiap baris tidak tetap. Isi dari sajak biasanya mengungkapkan  keindahan alam, keagungan Alloh,  harapan, kebahagiaan dan kesedihan perasaan seseorang. Contoh sajak yang mengungkapkan  harapan dan keindahan alam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar